Sumber Foto: Gotravel, 2018
Oleh: Graciella Stevani Gulo (GLI Batch 4, Regional 3)
Di Balik Keindahan Pariwisata Bali, Populasi Penyu Semakin Terancam
Pulau Bali selalu memikat wisatawan dengan pesona alamnya yang menakjubkan, terutama panorama pantainya yang menjadi ciri khas. Di sisi selatan pulau, Pantai Tanjung Benoa menjadi destinasi favorit bagi wisatawan lokal maupun mancanegara. Selain menawarkan berbagai aktivitas olahraga air, Tanjung Benoa juga menjadi gerbang menuju Pulau Penyu, tujuan wisata populer lainnya. Hanya dengan 15 menit perjalanan menggunakan glass bottom boat dari pesisir pantai, wisatawan dapat menikmati keindahan dan pesona alam Pulau Penyu yang terletak di seberang Tanjung Benoa.
Pulau Penyu dikenal karena penangkaran penyu yang ada di sana. Secara tradisional, masyarakat Bali telah lama menggunakan penyu dalam upacara adat, mengingat hewan ini dianggap sebagai penjelmaan Betara Wisnu, Tuhan sebagai pemelihara alam. Persembahan penyu dalam upacara ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan alam. Namun, sejak penyu masuk dalam daftar merah spesies terancam punah oleh IUCN (International Union for Conservation Nature), pemanfaatannya kini dibatasi hanya untuk ritual keagamaan dan dilarang untuk diperjualbelikan.
Di Indonesia, konservasi penyu diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dengan penangkaran sebagai salah satu metode pelaksanaannya. Namun, muncul pertanyaan: Apakah penangkaran penyu di Indonesia telah efektif dan tepat dalam melindungi spesies yang terancam punah ini? Upaya perlindungan penyu telah dilakukan pemerintah, namun teknik konservasi yang digunakan belum sepenuhnya efektif karena masih belum sesuai dengan sifat bioekologi penyu.
Siklus hidup penyu laut adalah proses kompleks yang dimulai saat penyu betina kembali ke pantai tempat ia dilahirkan untuk bertelur. Setiap musim, penyu betina dapat menghasilkan ratusan telur yang dikubur di dalam pasir. Setelah 8-10 minggu masa inkubasi, telur-telur tersebut menetas, dan tukik-tukik bergegas menuju laut, memulai perjalanan hidup mereka.
Pada tahap awal ini, tukik mengembangkan kemampuan imprinting untuk mengenali lingkungan sekitarnya, terutama lokasi penetasan, sehingga saat dewasa, mereka dapat kembali ke tempat yang sama untuk bertelur. Selain itu, tukik memiliki fase swimming-frenzy, di mana mereka bergerak dengan cepat menuju laut. Namun, upaya konservasi melalui penangkaran dapat mengurangi kedua kemampuan penting ini.
Yuliana Syamsuni, seorang marine conservationist mengungkapkan bahwa tukik hanya memiliki waktu 2-3 hari setelah menetas untuk mencapai feeding ground dengan cepat, memanfaatkan cadangan kuning telur mereka. Penundaan pelepasan lebih dari tiga hari dapat menyebabkan disorientasi dan meningkatkan risiko serangan predator seperti ikan besar ketika dilepaskan ke laut.
Di Tanjung Benoa, sebagian besar telur penyu berasal dari Pantai Kuta Selatan, dengan Penyu Lekang sebagai spesies yang paling banyak ditangkarkan. Beberapa tukik bahkan ditahan lebih dari tiga hari, dan ada penyu yang ditangkarkan hingga berusia 70 tahun. Penahanan ini dilakukan demi kepentingan wisata, di mana pelepasan tukik maupun penyu hanya dilakukan jika ada wisatawan yang bersedia berdonasi.
Konservasi penyu melalui penangkaran tidak hanya berdampak pada siklus hidup penyu, tetapi juga menelan biaya yang sangat besar. Kadek Wadnyana, Ketua Ekowisata Penyu di Tanjung Benoa, mengungkapkan bahwa setiap hari penyu membutuhkan 10 bag rumput laut dan 3 kg ikan, dengan biaya tiga bag mencapai Rp 100.000. Total biaya pakan per hari bisa mencapai Rp 400.000 hingga Rp 500.000. Selain itu, penangkaran juga memerlukan biaya untuk dokter, gaji pegawai, dan operasional tempat penangkaran. Sebagian besar pendanaan ini diperoleh dari donasi pengunjung.
Proses pelepasan tukik selama ini lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan keselamatan tukik. Menurut Meriussoni Zai, seorang konservasionis dari Yayasan Penyu Indonesia, pelepasan tukik idealnya dilakukan pada malam hingga menjelang pagi hari, sesuai dengan kebiasaan alami mereka untuk menghindari predator yang lebih aktif di siang hingga sore hari. Namun, kenyataannya, pelepasan tukik sering dilakukan pada siang atau sore hari, disesuaikan dengan acara tertentu demi memperoleh donasi.
Berdasarkan hal tersebut, terlihat jelas bahwa penangkaran penyu selama ini lebih mengarah kepada eksploitasi dibandingkan konservasi. Penahanan dan pelepasan tukik dilakukan semata-mata hanya untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Penangkaran penyu seharusnya lebih mengutamakan aspek kelestarian daripada keuntungan ekonomi. Sayangnya, dukungan pemerintah dalam konservasi penyu masih sangat minim, terlihat dari kurangnya pendanaan yang dialokasikan. Selain itu, tumpang tindih regulasi antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) semakin memperumit upaya konservasi.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, KLHK berperan sebagai Management Authority CITES untuk tumbuhan dan satwa liar, termasuk penyu. Namun, berdasarkan definisinya penyu juga dikategorikan sebagai jenis ikan menurut UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, sehingga konservasi penyu berada di bawah dua kementerian tanpa koordinasi yang jelas dan minim dukungan pendanaan. Kondisi tumpang tindih kewenangan ini dapat menimbulkan kesulitan dalam sinkronisasi data yang merupakan aspek penting untuk mengevaluasi efektivitas teknik konservasi jangka panjang. Perbedaan fokus antar lembaga pemerintah, baik dalam perlindungan habitat, edukasi masyarakat, maupun integrasi keduanya, berpotensi menciptakan kebijakan yang saling bertentangan. Selain itu, pemborosan anggaran dan lemahnya penegakan hukum menjadi ancaman yang bisa merugikan populasi penyu dan menghambat upaya konservasi secara keseluruhan.
Pemerintah perlu meningkatkan komitmennya dalam mendukung keberlanjutan konservasi penyu, mengingat peran penting penyu dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Perubahan iklim, pembangunan pesisir, dan peningkatan aktivitas pariwisata mengancam kelangsungan hidup penyu. Untuk melindungi penyu secara efektif, teknik konservasi harus disesuaikan dengan sifat bioekologi mereka, seperti membangun hatchery di pantai tempat peneluran, menghindari penahanan tukik, dan memastikan pelepasan tukik dilakukan dengan benar untuk meningkatkan peluang hidup mereka. Koordinasi dan keterlibatan semua pemangku kepentingan, pemerintah, masyarakat, NGO, dan akademisi, sangat penting agar konservasi penyu dapat berkelanjutan. [ed. Amalia Zulfa]
Referensi:
Gotravela. (2018). Pulau Penyu Tanjung Benoa Bali | Harga Glass Bottom Boat, https://www.gotravelaindonesia.com/pulau-penyu-tanjung-benoa-bali/, 29 Agustus 2024, pk. 15.00 WIB.
Gulo, G. S., Tumuyu, S. S., & Patria, M. P. (2024). Sustainability strategy for turtle conservation in Kelapa Dua Island, Kepulauan Seribu District, Jakarta, Indonesia. Biodiversitas: Journal of Biological Diversity, 25(5).
Naro-Maciel, E., Mihnovets, A. N., Martin, M., Durham, K., & Lii, T. (2011). Mysteries of an Ancient Mariner: The Endangered Kemp’s Ridley Sea Turtle.
Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Tumbuhan dan Satwa Liar
UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Wira Water Sport. (2024). Pulau Penyu Tanjung Benoa Bali – Harga Murah Glass Bottom Boat, https://www.water-sport-bali.com/pulau-penyu-tanjung-benoa/, 29 Agustus 2024, pk. 15.00 WIB
Recent Comments