Foto: Nur Alisah
Oleh: Nur Alisah
Lingkungan perkotaan yang padat dan penuh tekanan berkontribusi terhadap tingginya angka gangguan kesehatan mental. Dalam konteks ini, keberadaan ruang hijau menjadi semakin penting sebagai solusi untuk menangani masalah kesehatan mental. Studi menunjukkan bahwa interaksi dengan lingkungan hijau, seperti taman kota atau hutan, dapat secara signifikan menurunkan tingkat stres dan meningkatkan kesejahteraan psikologis. Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, ruang terbuka hijau terbukti berperan dalam menurunkan tingkat stres dan memperbaiki kualitas hidup masyarakat.
Alam bukan hanya dijadikan sebagai tempat pelarian. Akan tetapi, ia adalah refleksi dari kondisi psikologis kita, cerminan dari apa yang terjadi di dalam diri. Ketika kita membicarakan tentang alam, sebenarnya kita tengah menggali hubungan yang lebih mendalam antara manusia dan lingkungan sekitarnya—hubungan yang saling mempengaruhi dan membentuk keseimbangan psikologis. Lingkungan hijau memiliki peran yang lebih mendalam daripada sekadar mengurangi stres atau menyediakan tempat pelarian dari hiruk-pikuk perkotaan. Secara psikologis, alam dapat menjadi cermin kondisi batin kita, memberi ruang untuk berhubungan kembali dengan diri sendiri dan alam semesta. Ketika kita berjalan di hutan atau duduk di taman, kita tidak hanya melepaskan beban mental, tetapi juga merenungkan keberadaan kita, memahami siklus kehidupan, dan mendapatkan perspektif baru.
Konsep biophilia menyatakan bahwa manusia memiliki kecenderungan bawaan untuk mencari hubungan dengan alam dan bentuk kehidupan lainnya. Interaksi dengan lingkungan alam tidak hanya meningkatkan kesehatan fisik, tetapi juga membangun keseimbangan emosional dan mental. Ruang hijau juga berfungsi sebagai ruang sosial yang memperkuat ikatan komunitas dan mengurangi perasaan keterasingan di kota-kota besar, menawarkan kesempatan bagi masyarakat untuk terhubung dengan alam dan satu sama lain. Menyadari pentingnya ruang hijau bagi kesehatan mental, banyak negara, termasuk Indonesia, meningkatkan upaya konservasi dan memperluas akses masyarakat terhadap taman kota dan area hijau lainnya. Inisiatif ini adalah langkah untuk memperbaiki kualitas lingkungan hidup serta investasi jangka panjang dalam kesejahteraan mental dan emosional masyarakat.
Banyak penelitian menunjukkan bahwa lingkungan alam memiliki dampak signifikan terhadap kesehatan mental. Penelitian oleh Bratman, et al. (2015) mengungkapkan bahwa berjalan di alam terbuka dapat mengurangi aktivitas di daerah otak yang terkait dengan penyakit mental, seperti depresi. Hubungan kita dengan alam bukan hanya sekadar preferensi estetika, tetapi juga kebutuhan biologis yang mendalam. Hutan mengajarkan kita tentang kehidupan—tentang proses tumbuh, jatuh, dan bangkit kembali. Pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di tengah hutan menjadi simbol dari ketahanan dan kekuatan. Daun-daun yang jatuh di musim gugur akan membusuk dan menjadi pupuk yang menyuburkan tanah, memungkinkan kehidupan baru untuk tumbuh. Dalam konteks psikologis, ini bisa diartikan bahwa setiap kegagalan atau kehilangan yang kita alami adalah bagian dari proses yang lebih besar, yang pada akhirnya membawa kita pada pertumbuhan pribadi.
Ecotherapy Mengintegrasikan Alam dalam Praktik Kesehatan Mental
Dalam psikologi, alam sering dianggap sebagai ruang terapi alami. Ecotherapy adalah pendekatan psikoterapi yang memanfaatkan alam sebagai media untuk pemulihan mental, berakar pada keyakinan bahwa manusia memiliki hubungan inheren dengan alam. Salah satu bentuk ecotherapy yang paling umum adalah “forest bathing” atau shinrin-yoku, yang berasal dari Jepang. Praktik ini melibatkan menghabiskan waktu di hutan, memperlambat pikiran, dan menyerap lingkungan alami dengan semua indra. Penelitian menunjukkan bahwa praktik ini dapat mengurangi tingkat kortisol, hormon stres dalam tubuh, serta meningkatkan suasana hati dan fungsi kognitif.
Hubungan ini tidak hanya satu arah. Seperti halnya kita membutuhkan alam untuk kesejahteraan psikologis kita, alam juga membutuhkan kita. Eksploitasi alam secara berlebihan, deforestasi, dan perubahan iklim berdampak pada kesehatan psikologis kita. Ketika hutan-hutan yang dulu rimbun menjadi tandus, atau ketika sungai-sungai yang dulu jernih berubah keruh, kita kehilangan lebih dari sekadar lanskap yang indah. Kita kehilangan bagian dari diri kita yang terhubung dengan alam, bagian yang memahami bahwa kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Merawat Alam Sama Dengan Merawat Diri
Untuk mencapai keseimbangan antara hati dan alam, kita perlu belajar untuk merawat keduanya. Merawat alam bukan hanya tentang melindungi lingkungan dari kerusakan, tetapi juga tentang melindungi diri kita dari dampak negatif yang mungkin timbul dari ketidakseimbangan alam. Ketika kita merawat alam, kita juga sedang merawat kesehatan mental kita. Ketika kita terlibat dalam kegiatan yang bertujuan untuk merawat dan melestarikan alam, seperti menanam pohon atau membersihkan sungai, kita tidak hanya berkontribusi pada kesehatan lingkungan, tetapi juga kesehatan mental kita sendiri. Aktivitas semacam ini memberikan perasaan makna dan tujuan, yang merupakan komponen penting dari kesejahteraan psikologis.
Hutan dan Identitas Psikologishuta
Bagi banyak komunitas adat di seluruh dunia, hutan tidak hanya dilihat sebagai sumber daya alam, tetapi juga sebagai bagian dari identitas mereka. Kehidupan mereka terjalin erat dengan hutan, dan kehilangan hutan berarti kehilangan bagian penting dari identitas mereka. Penelitian oleh Kirmayer, et al. (2009) menunjukkan bahwa kehilangan tanah adat sering diikuti dengan meningkatnya tingkat depresi, kecemasan, dan masalah kesehatan mental lainnya dalam komunitas tersebut. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya hutan dan lingkungan alam bagi kesehatan psikologis dan identitas kita.
Di Kalimantan, salah satu suku yang memiliki hubungan spiritual dengan hutan adalah Suku Dayak. Hutan bagi mereka adalah tempat tinggal roh leluhur dan makhluk-makhluk gaib yang mereka hormati. Upacara Tiwah masyarakat Suku Dayak merupakan prosesi pemindahan tulang belulang leluhur ke tempat pemujaan, biasanya dilakukan di hutan karena dianggap sebagai tempat yang suci dan dekat dengan roh leluhur. Upacara ini menunjukkan penghormatan terhadap leluhur dan menjaga keseimbangan spiritual dengan alam.
Dalam menghadapi tantangan modernisasi dan urbanisasi, kita perlu menemukan cara untuk hidup harmonis dengan alam. Ini bukan hanya tentang mengurangi jejak karbon atau menanam lebih banyak pohon, tetapi juga tentang mengakui bahwa hubungan kita dengan alam adalah hubungan yang saling menguntungkan. Ketika kita menjaga hutan dan ekosistemnya, kita juga menjaga kesehatan psikologis kita. Ketika kita menghormati alam, kita juga menghormati diri kita sendiri.
Cinta untuk Hutan, Cinta untuk Diri
Sebagai penutup, John Muir, seorang naturalis dan penulis Amerika, pernah berkata, “Dalam setiap hal di alam, kita menemukan keindahan dan inspirasi yang mendalam; setiap pohon, setiap daun, setiap aliran air memiliki cerita untuk diceritakan tentang diri kita dan tempat kita di dunia ini” (Muir, J. ‘My First Summer in the Sierra’, 1911). Kata-kata Muir mengingatkan kita bahwa hubungan kita dengan alam bukan hanya sekadar keberadaan, tetapi sebuah perjalanan penuh makna yang menuntut perhatian dan cinta yang tulus.
Kita hidup di zaman di mana dunia semakin terhubung dan canggih, tetapi jangan pernah melupakan bahwa esensi sejati dari keseimbangan hidup terletak pada hubungan mendalam kita dengan lingkungan sekitar. Ketika kita merawat hutan dengan penuh kasih sayang, kita juga merawat keseimbangan batin kita. Hanya dengan mengakui dan menghargai hubungan ini, kita dapat mencapai keseimbangan sejati—antara dunia luar dan dunia dalam, antara alam dan jiwa kita. Mari kita melangkah maju dengan tekad untuk hidup selaras dengan alam, merawat hutan dan hati kita dengan cinta dan perhatian yang setara. Dengan cara ini, kita tidak hanya menemukan keseimbangan dalam hidup, tetapi juga membangun masa depan yang harmonis dan berkelanjutan bagi generasi mendatang. (ed. Amalia Zulfa)
Referensi:
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2023. Jakarta: Kemenkes RI.
Anwar, I. C. (2024, September 5). Info Data Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia Tahun 2023. Tirto.id. Retrieved from https://tirto.id
Gunawan, E. S., & Hidayat, F. (2023). Pengaruh ruang terbuka hijau terhadap kesehatan mental masyarakat kota di Indonesia. Jurnal Psikologi Lingkungan, 14(1), 45-60.
World Health Organization. (2023). Urban green spaces and mental health: A review of evidence. Copenhagen: WHO Regional Office for Europe.
Hansen, M. M., Jones, R., & Tocchini, K. (2017). Shinrin-yoku (forest bathing) and nature therapy: A state-of-the-art review. International Journal of Environmental Research and Public Health, 14(8), 851. https://doi.org/10.3390/ijerph14080851
Conley, C. (2014). The Dayak of Kalimantan: Rituals, Beliefs, and the Environment. Jakarta: Indonesian Heritage Society.
Recent Comments