Foto: Boy Dominguez
Oleh: Zulfahmi Sukma
Konflik agraria menjadi permasalahan yang tak kunjung usai di Indonesia, di mana sengketa lahan seringnya diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Ketidakpastian kepemilikan lahan dan ketimpangan akses sumber daya alam menimbulkan ketegangan yang tak berkesudahan, terutama antara masyarakat adat, petani kecil, dan korporasi besar. Banyak kerugian yang ditimbulkan oleh konflik ini, tidak hanya secara ekonomi tapi juga sosial dan lingkungan. Untuk itu, reforma agraria berkeadilan diserukan oleh berbagai pihak sebagai jalan keluar dari permasalahan ini. Namun, apakah kebijakan seperti Reforma Agraria dan Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat, dapat menjadi solusi nyata permasalahan ini?
Akar Masalah Konflik Agraria di Indonesia
Sejarah panjang konflik agraria di Indonesia tak lepas dari warisan kolonialisme dan kebijakan agraria yang tak berpihak pada rakyat kecil, tanah-tanah dikuasai oleh negara dan diserahkan kepada perusahaan-perusahaan besar sehingga masyarakat adat dan petani kecil terpinggirkan (Wiradi, 2009). Keadaan ini semakin parah terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru yang meneruskan kebijakan melalui program-program pembangunan yang sering kali mengabaikan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Menurut Rachman (2013), masyarakat dipaksa kehilangan tanah mereka tanpa mendapatkan kompensasi yang layak atau alternatif mata pencaharian yang memadai hanya untuk kepentingan proyek negara atau perusahaan-perusahaan besar.
Konflik agraria tidak hanya melibatkan petani kecil, tetapi juga masyarakat adat yang memperjuangkan hak atas tanah ulayat mereka. Berdasarkan catatan akhir tahun 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 2015-2023 terdapat 2.939 konflik agraria yang mencakup 6,3 juta hektar lahan dan 1,759 juta keluarga korban. Jumlah tersebut telah mencakup konflik-konflik yang tak kunjung menemukan titik terang.
Permasalahan konflik agraria menjadi semakin kompleks akibat dari hukum agraria di Indonesia yang sering kali tumpang tindih dengan berbagai peraturan yang saling bertentangan (Santoso, 2022). Hal ini menyebabkan upaya penyelesaian konflik menjadi lamban sehingga sering kali tidak berujung.
Reforma Agraria: Harapan yang Masih Jauh dari Kenyataan
Reforma agraria telah diupayakan sejak era reformasi, yang diharapkan menjadi solusi untuk masalah ketimpangan akses lahan. Prinsip dari reforma agraria adalah mendistribusikan tanah secara merata kepada rakyat, terutama masyarakat adat dan petani kecil.
Namun, pada implementasinya, reforma agraria menghadapi berbagai tantangan. Sering kali kekuatan politik dan ekonomi korporasi besar lebih dominan dibandingkan kepentingan rakyat kecil. Selain itu, birokrasi yang rumit dan ketidakjelasan regulasi hukum menyebabkan redistribusi tanah menjadi lambat. Masih banyak lahan berada dalam sengketa walaupun beberapa program sertifikasi lahan telah dilaksanakan, bahkan seringkali masyarakat yang menjadi korban konflik agraria tidak mendapatkan keadilan yang diharapkan (Rachman, 2013).
Berdasarkan catatan akhir tahun 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), capaian redistribusi tanah dan penyelesaian konflik baru mencapai 21 LPRA (Lokasi Prioritas Reforma Agraria) dengan total 5.400 hektar (ha) untuk 7.690 keluarga dari 851 lokasi yang menjadi prioritas reforma agraria. Dua lokasi di antaranya masih menunggu penerbitan surat keputusan redistribusi. Adapun untuk 830 LPRA masih larut dalam konflik berkepanjangan sehingga belum dilakukan redistribusi tanah.
Permen LHK Nomor 10 Tahun 2024: Langkah ke Depan
Dalam konteks permasalahan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengeluarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 10 Tahun 2024 sebagai salah satu langkah untuk mengurangi ketimpangan akses terhadap lahan dan melindungi pembela lingkungan dari ancaman kriminalisasi. Peraturan ini dirancang untuk memberikan perlindungan hukum kepada orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Peraturan ini memberikan perlindungan kepada masyarakat adat dan lokal, serta memberikan akses legal untuk memanfaatkan hutan secara berkelanjutan.
Permen LHK ini diharapkan mampu menjadi instrumen untuk mengurangi konflik lahan di wilayah-wilayah yang memiliki potensi tinggi terjadi sengketa agraria. Namun, apakah pada implementasinya peraturan ini akan membawakan angin segar? Dengan keadaan Indonesia yang serba darurat ini, seperti sebelumnya sejak 2009 lalu kita memiliki Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terkhusus pasal 66, tetapi kasus warga yang memperjuangkan lingkungan hidupnya dikriminalisasi masih mengalir deras. Bagaimana dengan ancaman UU ITE?
Peraturan ini tidak lepas dari kritik. Beberapa pihak menyatakan bahwa peraturan ini masih setengah hati melindungi pejuang lingkungan karena hanya pejuang lingkungan yang menempuh jalur hukum saja yang akan dilindungi. Lalu bagaimana yang membela lingkungan dengan tidak menempuh jalur hukum, seperti kampanye, demo, dan kritik di sosial media, apakah tidak mendapat perlindungan?
Begitulah kiranya kritik-kritik terhadap Permen LHK terbaru itu. Mari kita saksikan bersama implementasi kedepannya.
Solusi Menuju Penyelesaian Konflik Agraria yang Berkeadilan
Konflik agraria yang telah berakar kuat perlu diselesaikan dengan langkah-langkah nyata dan komprehensif. Sistem hukum agraria harus diperbaiki oleh pemerintah dengan menyederhanakan regulasi yang ada dan memastikan perlindungan hak-hak masyarakat adat dan lokal. Kemudian, redistribusi lahan dilakukan dengan melibatkan masyarakat secara aktif, bukan sebagai penerima pasif.
Selain itu, penegakan hukum harus tegas terhadap perusahaan-perusahaan yang melanggar hak-hak masyarakat karena konflik agraria tidak akan selesai jika hukum hanya berpihak pada yang kuat (Rachman, 2013). Tidak hanya itu, kolaborasi antara pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk menciptakan mekanisme yang adil dalam pengelolaan lahan dan sumber daya alam sangat diperlukan.
Membangun Reforma Agraria yang Berkeadilan
Reforma agraria merupakan kunci untuk menyelesaikan konflik agraria yang tak kunjung usai di Indonesia. Namun, keberhasilan reforma agraria tidak hanya sebatas banyaknya lahan yang didistribusikan, tetapi juga pada seberapa adil proses tersebut untuk seluruh pihak yang terlibat. Tanpa penerapan konsep reforma agraria yang sesungguhnya, yang menyentuh pada akar permasalahan dan melibatkan seluruh pihak, maka konflik agraria akan diwariskan ke generasi berikutnya. Ketidakadilan akan terus berlanjut dan tak usai. (ed. Diki Angger)
Daftar Pustaka
Catatan Akhir Tahun 2023 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2024). Peraturan Menteri LHK Nomor 10 Tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.
Rachman, N. F. (2013). “Konflik Agraria: Perspektif, Aktor, dan Solusi.” Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 16(3), 232-254.
Santoso, U. (2022). Hukum Agraria dan Reforma Agraria di Indonesia. Prenada Media.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Wiradi, G. (2009). Reforma Agraria, Perjalanan yang Belum Berakhir. Insist Press.
Recent Comments